Oleh Martha Hebi
Gregor,
Perkawinan itu tidak
sekedar persekutuan penis dan vagina, agar kau tahu perkawinan sama seperti
pertemuan ideologi! Perkawinan itu juga idealisme. Perkawinan tidak hanya
berarti laki-laki dan perempuan diberkati pastor dan berjanji setia dalam suka
dan duka, serta mengamini bahwa hanya maut yang memisahkan dan apa yang
dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan manusia. Coba kau catat baik-baik,
apakah dengan selembar surat nikah lantas kau dapat menipu dirimu? Pikirkan
baik-baik perkawinan bukan hanya persoalan selangkang!
Salamku
Carlos
Kartu pos bergambar
sepasang mata tanpa biji yang dilukis sendiri di atas karton putih. Aku
melemparnya di atas meja. Kurang ajar, sok sekali dia menasehatiku. Pikirnya
siapa dirinya? Seorang sahabat yang menganggap dirinya paling suci dan paling
pantas menasehati setiap orang yang hendak mengambil keputusan. Keputusan yang
kuambilkan adalah hakku. Menikah adalah hak setiap orang. Dan tidak seorang pun
yang mampu menghalang-halangi niatku untuk menikahi Rara. Kau sahabatku tetapi
tidak berarti kaulah penentu keputusan dalam hidupku.
Kubalas kartu posnya
dengan setengah halaman kertas folio. Singkat. Dan kuingatkan dia untuk tidak
mencampuri urusan pribadiku. Aku menyesal telah mengenalnya, menyesal telah
bersahabat dengannya, bahkan sangat dekat dengannya. Sekarang sewaktu hendak
mengambil sebuah keputusan besar, dia datang lagi untuk mempengaruhiku. Aku
tidak tahu harus menyebutnya apa. Aku sudah berusaha jauh darinya bahkan tidak
menghubunginya. Inilah yang tidak kumengerti hal-hal privatku selalu saja
dipandang sebagai bagian dari keputusan bersama.
***
Saya merasa lucu bercampur marah karena surat Gregor. Dia minta saya diam, tidak usah menghubunginya lagi bahkan menganggap keputusan menikahi Rara adalah hal yang sangat pribadi. Seperti asing Gregor dalam suratnya, padahal saya mengenalnya selama bertahun-tahun. Sejak dia kuliah semester dua, hingga bekerja dan saat ini menjadi anggota dewan terhormat.
Mentang-mentang sudah jadi orang hebat, jadi DPR eh lupa pada sahabat-sahabatnya. Kalau dia sadar, kedudukannya saat ini tidak lepas dari dukungan kami para sahabatnya. Dia berkoar-koar di media kalau dia hendak menikahi seorang perempuan, Rara.. “Saya mau menepis isu tentang diri saya, jadi saya harus menikah.” Itu ia ungkapkan pada sopir pribadinya. Ia memang bisa mengelabui jutaan masyarakat , tapi kami kawan-kawannya, saya?
Kupikir-pikir mungkin
benar juga Dipa, perempuan gila yang sukanya ngoceh, bahwa yang namanya DPR itu tukang tipu. Tipu rakyat, tipu
sesama, bahkan menipu diri sendiri, yah seperti Gregor ini. Saya muak
membayangkan Gregor yang lembut, ramah dan romantis. Brengsek! Kalau dia di
depanku mau cekik lehernya. Saya ingat bibirnya bila terkejut, saya suka cara
dia merangkulku, tiba-tiba ia sudah menjilati tengkukku. Saya menyukai tubuhnya
yang berkeringat seksi, bila dia menggeliat dan mengerang, saya rindu dia
seperti anakonda yang meliliti mangsa. Brengsek! Saya ingin menjauhkan perasaan
padanya tetapi malah semakin mengingat dia.
Iya tahun lalu kami
membangun jaringan ke kabupaten-kabupaten agar Gregor bisa lolos menjadi
anggota legislatif. Dia yang paling pintar dalam komunitas kami, terkenal,
tulisannya menghiasi koran-koran lokal bahkan juga koran nasional. Ia berbicara
di berbagai forum dan dikenal luas. Pembicaraannya menunjukkan keberpihakannya
kepada kelompok-kelompok kecil dan minoritas yang tersingkirkan.
Berawal dari ide Ferry,
yang mengusulkan agar dari komunitas kami, golongan pinggiran dan minoritas ini
ada yang dapat mewakili di kursi legislatif sehingga suara kami, keluhan kami
dan keterpinggiran oleh sanksi sosial bisa ia suarakan pada publik. Karena itu
semua anggota komunitas dan jaringan menggalang kekuatan bersama untuk
menggolkan Gregor. Tidak sia-sia, Gregor berhasil. Dan harapan kami membunga,
mengawang dan penuh mimpi berwarna.
Waktu dia kuliah di
Fisipol kami juga telah mendukungnya, kami melindunginya dari gosip, tentang
dirinya, tentang kami, karena masyarakat belum bisa menerima realitas hidup
kami, mahasiswa sekali pun yang mengaku diri sebagai kaum intelektual. Bila
berhadapan dengan kami logika dan rasional mereka menguap begitu saja, yang
muncul adalah perasaan jijik yang sulit saya mengerti.
Minggu lalu Gregor
menyatakan bahwa dia akan menikahi Rara, artis lokal dan pianis handal di kota
kami. Kami semua kaget apalagi saya, karena dua hari sebelumnya kami
menghabiskan malam minggu di penginapan C. Kami bercinta habis-habisan. Sampai
subuh. Saya sangat tidak yakin dengan statementnya di koran. Saya coba
menghubungi hpnya, tidak diaktifkan, ke kontrakannya dia tidak ada. Gregor
menghilang.
Gregor hendak
mensterilkan dirinya dengan cara menikahi seorang perempuan. Gregor mau
menunjukkan pada publik dia memang pejabat yang diharapkan. Saya tidak dapat
mengerti bukankah dia menjadi DPR karena keberadaan dirinya, kami,
kawan-kawannya, bukankah dia sedang membawa idealisme kami semua, harapan,
mimpi untuk diperjuangkan.
Lalu mengapa serta merta
dia menghancurkan idealismenya, idealisme kami, idealisme komunitas? Apakah
semua DPR memang seperi Gregor, kalau sudah rasa enak melupakan prinsip,
melupakan wajah-wajah keringat yang menopangnya, melupakan pamflet-pamflet yang
kami sebarkan bahkan dengan mencuri start.
Dia lupa mungkin,
semenjak dia akan dicalonkan jadi anggota legislatif, kami atas nama tempat
kerja masing-masing atau jaringan komunitas lainnya gencar mengadakan dialog,
seminar, diskusi dan Gregor adalah salah satu pembicaranya. Wartawan kami
undang agar dia dikorankan dan dengan mudah dikenali masyarakat. Dialog
interaktif di radio, di televisi. Astaga Gregor telah dibutakan! Gregor
dibutakan oleh jabatan DPRnya.Gregor, Gregor… Kau telah mengecewakan kami!
***
Sudah hampir tiga minggu
aku mengasingkan diri, menjauh dari teman-teman komunitas dan incaran media.
Para wartawan mungkin sudah mencium identitasku, semua informasi tentangku yang
kututup rapat-rapat. Mengapa pula wartawan suka mengusili privacy orang?
Ah Carlos aku
mengingatmu. Iya Carlos, terpikir juga, artikel-artikelku di koran selalu
menulis tentang idealisme, perjuangan bagi kaum tertindas, kaum terpinggirkan.
Lalu aku sesungguhnya adalah bagian dari itu, untuk menyuarakan kaum tak
bersuara.*)
Tapi aku juga hidup
dalam masyarakat, aku juga manusia yang tertekan oleh suara-suara menyakitkan.
Komunitas kita dianggap najis, orang-orang sepertiku dipandang sampah sosial.
Tidakkah ini sangat mengiris harga diriku sebagai anggota dewan yang
dielu-elukan masyarakat?
Aku tidak tahu apakah
mereka lebih suci daripada kami. Apakah najis dan sampah sosial hanya sebatas
persoalan selangkang. Selangkang dianggap sebagai pusat moral! Benar juga
Carlos pada malam terakhirku dengannya di Hotel C, persoalan selangkang kadang
membuat semua orang ribut. “Oleh karena itu jangan peduli apa kata orang.
Bukankah ini selangkang kita berdua? Keinginan kita?Aku mencintaimu seperti
cintamu pada buku-bukumu!” Ujar Carlos lalu menyambar bibirku, berpagutan, aku
membelitnya dan kami berkeringat. Mengulanginya, sampai ….. sepasang burung
melongok dari jendela yang sengaja tidak kami tutup.
Dan sekarang aku juga ingin
bertanya najiskah juga mereka yang oleh masyarakat, publik, dinilai sebagai
kaum suci, bermoral tinggi, orang terhormat tetapi jauh di belakang sana mereka
menggerogoti tulang-tulang rakyat kecil, menghisap darah orang miskin, menipu
rakyat, menggelapkan uang rakyat, menjual idealisme. Aku ingin menggugat vonis
yang dijatuhkan untuk kami.
Carlos dan kawan-kawan
Komunitas Senada
Maafkan aku telah
menghilang sekian lama tanpa berita. Aku sedang berdiam diri dan berpikir. Aku
tertekan. Terima kasih Carlos, kartu posmu membuatku berpikir lama tentang
idealisme, tentang perkawinan semu, tentang penipuan. Aku tidak bermaksud
menipu diri, Carlos.
Aku sudah berpikir bahwa
moral tidak berpusat di selangkang! Nurani dan kesuciannya tidak berasal dari
selangkang. Aku berpikir menikahi Rara paling tidak mengurangi bebanku pada
publik tanpa menyadari justru menjerumuskan diri pada pengkianatan idealisme.
Aku lupa, aku sekarang ini karena pemberontakan terhadap ketertindasan kita,
karena kegelisahan kita terhadap vonis sosial yang tidak adil.
Terima kasih
kawan-kawan, aku tidak pernah sendiri lagi. Benar bahwa kejujuran akan
melahirkan kesakitan. Tetapi bukankah kesakitan inilah yang harus kita
suarakan? Deposuit Potentes de Sede et Exalvat Humiles.
Salam perjuangan kita
Gregor
Maafkan aku Rara. Aku
tidak ingin menipu diri, kawan-kawan dan juga tidak akan menipumu. Aku
mengangkat telpon membatalkan pesanan kartu undangan dan cincin kawin. Seperti
melayang tubuhku, seperti melepas tali yang menghimpit sekujur tubuh. Aku tidak
sedang bermimpi tentang kebebasan, aku sudah bebas.
Waingapu, Nov 2003-Feb 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar