Jumat, 19 Desember 2008

Gregor, Perkawinan itu Bukan Hanya Selangkang!

Oleh Martha Hebi


Gregor,

Perkawinan itu tidak sekedar persekutuan penis dan vagina, agar kau tahu perkawinan sama seperti pertemuan ideologi! Perkawinan itu juga idealisme. Perkawinan tidak hanya berarti laki-laki dan perempuan diberkati pastor dan berjanji setia dalam suka dan duka, serta mengamini bahwa hanya maut yang memisahkan dan apa yang dipersatukan Tuhan tidak dapat dipisahkan manusia. Coba kau catat baik-baik, apakah dengan selembar surat nikah lantas kau dapat menipu dirimu? Pikirkan baik-baik perkawinan bukan hanya persoalan selangkang!

Salamku
Carlos

Kartu pos bergambar sepasang mata tanpa biji yang dilukis sendiri di atas karton putih. Aku melemparnya di atas meja. Kurang ajar, sok sekali dia menasehatiku. Pikirnya siapa dirinya? Seorang sahabat yang menganggap dirinya paling suci dan paling pantas menasehati setiap orang yang hendak mengambil keputusan. Keputusan yang kuambilkan adalah hakku. Menikah adalah hak setiap orang. Dan tidak seorang pun yang mampu menghalang-halangi niatku untuk menikahi Rara. Kau sahabatku tetapi tidak berarti kaulah penentu keputusan dalam hidupku.
Kubalas kartu posnya dengan setengah halaman kertas folio. Singkat. Dan kuingatkan dia untuk tidak mencampuri urusan pribadiku. Aku menyesal telah mengenalnya, menyesal telah bersahabat dengannya, bahkan sangat dekat dengannya. Sekarang sewaktu hendak mengambil sebuah keputusan besar, dia datang lagi untuk mempengaruhiku. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Aku sudah berusaha jauh darinya bahkan tidak menghubunginya. Inilah yang tidak kumengerti hal-hal privatku selalu saja dipandang sebagai bagian dari keputusan bersama.
***

Saya merasa lucu bercampur marah karena surat Gregor. Dia minta saya diam, tidak usah menghubunginya lagi bahkan menganggap keputusan menikahi Rara adalah hal yang sangat pribadi. Seperti asing Gregor dalam suratnya, padahal saya mengenalnya selama bertahun-tahun. Sejak dia kuliah semester dua, hingga bekerja dan saat ini menjadi anggota dewan terhormat.

Mentang-mentang sudah jadi orang hebat, jadi DPR eh lupa pada sahabat-sahabatnya. Kalau dia sadar, kedudukannya saat ini tidak lepas dari dukungan kami para sahabatnya. Dia berkoar-koar di media kalau dia hendak menikahi seorang perempuan, Rara.. “Saya mau menepis isu tentang diri saya, jadi saya harus menikah.” Itu ia ungkapkan pada sopir pribadinya. Ia memang bisa mengelabui jutaan masyarakat , tapi kami kawan-kawannya, saya?

Kupikir-pikir mungkin benar juga Dipa, perempuan gila yang sukanya ngoceh, bahwa yang namanya DPR itu  tukang tipu. Tipu rakyat, tipu sesama, bahkan menipu diri sendiri, yah seperti Gregor ini. Saya muak membayangkan Gregor yang lembut, ramah dan romantis. Brengsek! Kalau dia di depanku mau cekik lehernya. Saya ingat bibirnya bila terkejut, saya suka cara dia merangkulku, tiba-tiba ia sudah menjilati tengkukku. Saya menyukai tubuhnya yang berkeringat seksi, bila dia menggeliat dan mengerang, saya rindu dia seperti anakonda yang meliliti mangsa. Brengsek! Saya ingin menjauhkan perasaan padanya tetapi malah semakin mengingat dia.
Iya tahun lalu kami membangun jaringan ke kabupaten-kabupaten agar Gregor bisa lolos menjadi anggota legislatif. Dia yang paling pintar dalam komunitas kami, terkenal, tulisannya menghiasi koran-koran lokal bahkan juga koran nasional. Ia berbicara di berbagai forum dan dikenal luas. Pembicaraannya menunjukkan keberpihakannya kepada kelompok-kelompok kecil dan minoritas yang tersingkirkan.

Berawal dari ide Ferry, yang mengusulkan agar dari komunitas kami, golongan pinggiran dan minoritas ini ada yang dapat mewakili di kursi legislatif sehingga suara kami, keluhan kami dan keterpinggiran oleh sanksi sosial bisa ia suarakan pada publik. Karena itu semua anggota komunitas dan jaringan menggalang kekuatan bersama untuk menggolkan Gregor. Tidak sia-sia, Gregor berhasil. Dan harapan kami membunga, mengawang dan penuh mimpi berwarna.
Waktu dia kuliah di Fisipol kami juga telah mendukungnya, kami melindunginya dari gosip, tentang dirinya, tentang kami, karena masyarakat belum bisa menerima realitas hidup kami, mahasiswa sekali pun yang mengaku diri sebagai kaum intelektual. Bila berhadapan dengan kami logika dan rasional mereka menguap begitu saja, yang muncul adalah perasaan jijik yang sulit saya mengerti.

Minggu lalu Gregor menyatakan bahwa dia akan menikahi Rara, artis lokal dan pianis handal di kota kami. Kami semua kaget apalagi saya, karena dua hari sebelumnya kami menghabiskan malam minggu di penginapan C. Kami bercinta habis-habisan. Sampai subuh. Saya sangat tidak yakin dengan statementnya di koran. Saya coba menghubungi hpnya, tidak diaktifkan, ke kontrakannya dia tidak ada. Gregor menghilang.

Gregor hendak mensterilkan dirinya dengan cara menikahi seorang perempuan. Gregor mau menunjukkan pada publik dia memang pejabat yang diharapkan. Saya tidak dapat mengerti bukankah dia menjadi DPR karena keberadaan dirinya, kami, kawan-kawannya, bukankah dia sedang membawa idealisme kami semua, harapan, mimpi untuk diperjuangkan.
Lalu mengapa serta merta dia menghancurkan idealismenya, idealisme kami, idealisme komunitas? Apakah semua DPR memang seperi Gregor, kalau sudah rasa enak melupakan prinsip, melupakan wajah-wajah keringat yang menopangnya, melupakan pamflet-pamflet yang kami sebarkan bahkan dengan mencuri start.

Dia lupa mungkin, semenjak dia akan dicalonkan jadi anggota legislatif, kami atas nama tempat kerja masing-masing atau jaringan komunitas lainnya gencar mengadakan dialog, seminar, diskusi dan Gregor adalah salah satu pembicaranya. Wartawan kami undang agar dia dikorankan dan dengan mudah dikenali masyarakat. Dialog interaktif di radio, di televisi. Astaga Gregor telah dibutakan! Gregor dibutakan oleh jabatan DPRnya.Gregor, Gregor… Kau telah mengecewakan kami!
***
Sudah hampir tiga minggu aku mengasingkan diri, menjauh dari teman-teman komunitas dan incaran media. Para wartawan mungkin sudah mencium identitasku, semua informasi tentangku yang kututup rapat-rapat. Mengapa pula wartawan suka mengusili privacy orang?
Ah Carlos aku mengingatmu. Iya Carlos, terpikir juga, artikel-artikelku di koran selalu menulis tentang idealisme, perjuangan bagi kaum tertindas, kaum terpinggirkan. Lalu aku sesungguhnya adalah bagian dari itu, untuk menyuarakan kaum tak bersuara.*)

Tapi aku juga hidup dalam masyarakat, aku juga manusia yang tertekan oleh suara-suara menyakitkan. Komunitas kita dianggap najis, orang-orang sepertiku dipandang sampah sosial. Tidakkah ini sangat mengiris harga diriku sebagai anggota dewan yang dielu-elukan masyarakat?
Aku tidak tahu apakah mereka lebih suci daripada kami. Apakah najis dan sampah sosial hanya sebatas persoalan selangkang. Selangkang dianggap sebagai pusat moral! Benar juga Carlos pada malam terakhirku dengannya di Hotel C, persoalan selangkang kadang membuat semua orang ribut. “Oleh karena itu jangan peduli apa kata orang. Bukankah ini selangkang kita berdua? Keinginan kita?Aku mencintaimu seperti cintamu pada buku-bukumu!” Ujar Carlos lalu menyambar bibirku, berpagutan, aku membelitnya dan kami berkeringat. Mengulanginya, sampai ….. sepasang burung melongok dari jendela yang sengaja tidak kami tutup.
Dan sekarang aku juga ingin bertanya najiskah juga mereka yang oleh masyarakat, publik, dinilai sebagai kaum suci, bermoral tinggi, orang terhormat tetapi jauh di belakang sana mereka menggerogoti tulang-tulang rakyat kecil, menghisap darah orang miskin, menipu rakyat, menggelapkan uang rakyat, menjual idealisme. Aku ingin menggugat vonis yang dijatuhkan untuk kami.

Carlos dan kawan-kawan Komunitas Senada
Maafkan aku telah menghilang sekian lama tanpa berita. Aku sedang berdiam diri dan berpikir. Aku tertekan. Terima kasih Carlos, kartu posmu membuatku berpikir lama tentang idealisme, tentang perkawinan semu, tentang penipuan. Aku tidak bermaksud menipu diri, Carlos.
Aku sudah berpikir bahwa moral tidak berpusat di selangkang! Nurani dan kesuciannya tidak berasal dari selangkang. Aku berpikir menikahi Rara paling tidak mengurangi bebanku pada publik tanpa menyadari justru menjerumuskan diri pada pengkianatan idealisme. Aku lupa, aku sekarang ini karena pemberontakan terhadap ketertindasan kita, karena kegelisahan kita terhadap vonis sosial yang tidak adil.

Terima kasih kawan-kawan, aku tidak pernah sendiri lagi. Benar bahwa kejujuran akan melahirkan kesakitan. Tetapi bukankah kesakitan inilah yang harus kita suarakan? Deposuit Potentes de Sede et Exalvat Humiles.

Salam perjuangan kita
Gregor

Maafkan aku Rara. Aku tidak ingin menipu diri, kawan-kawan dan juga tidak akan menipumu. Aku mengangkat telpon membatalkan pesanan kartu undangan dan cincin kawin. Seperti melayang tubuhku, seperti melepas tali yang menghimpit sekujur tubuh. Aku tidak sedang bermimpi tentang kebebasan, aku sudah bebas.


*) Ini istilah yang sering diucapkan Eman Laba.

Waingapu, Nov 2003-Feb 2004