Jumat, 17 April 2015

Kado


Kado (1)

Aku ingin mengecup bisa di bibirmu
Agar kau tahu rasanya cinta
Kitabmu bermazmur tentang keagungan
Ayatmu menyebut mereka...mereka yang harus kau cinta

Aku telah mengecup bibirmu dan tetes bisa-mu
Ah....belum kau tahu rasanya cinta       

 
Kado (2)

Bulir-bulir itu seperti mata panah
Tak lelah menusuk sorai
Bulir-bulir itu lembut seperti rambut bidadari
Meski terselip sebilah belati

Kado (pur na ma)
...seperti biji sesawi
kita perlu mati untuk berbuah
(selalu kita nyanyikan kegirangan hujan) (selalu kita nyanyikan kegirangan hujan)(selalu kita nyanyikan kegirangan hujan)

 
Awal 2015

Kisah : Kenikmatan dengan Orang Muda

Bergaul dengan orang muda membuat hidup ini seperti sampan yg mengajak gelombang laut untuk berdansa. Adakala sampan melompati puncak ombak dan berayun di tebing ombak. Indah. Seperti bermain ayunan di taman kanak-kanak. Sesekali ombak mengurung sampan di balik temboknya dan menyuapinya secawan anggur pahit.

Beberapa tahun silam, saat itu handphone (Hp) belum terlalu populer di kalangan anak muda di Sumba. Masih termasuk barang mewah. Biasanya jika hendak menelpon, anak muda punya sim card yg bisa dipasangkan di Hp pinjaman. Atau meminjam Hp sekaligus sim card teman.

Sebagai "Kakak" Hp saya sering dipinjam tentu sekaligus dengan sim card. Biasanya kata teman muda saya, mau kabari teman bahwa tidak bisa bertemu sesuai rencana atau mengabari orang tua bahwa pulang lambat dan beberapa alasan mendesak dimana hati saya meleleh menatap wajah-wajah sendu ini.

Hingga suatu hari datang satu SMS dari nomor tanpa nama "Kalau memang ko mau putus, kita putus sudah too. Ko pikir kau terlalu hebat apa memang. Saya tunggu kau besok di xxxx". Kira-kira begitu punyi pesan yg masuk. Bingunglah saya. Kemudian saya mengecek di kotak pesan keluar, ah rupanya ada 2 pesan keluar yg berisi percakapan minta putus hubungan cinta. Entah jempol siapa yg mengetiknya.

Saya penasaran, dan mulai membaca kotak pesan keluar yg berisi 1000an SMS. Hahaha masih tersisa beberapa SMS keluar yg bukan milik saya dan bukan ditujukan kepada teman ataupun orang tua mereka. Tapi nama yg terdaftar dalam Hp saya. Misalnya "Bang Faisal, apa kabar? Bagaimana situasi Manado?" Dan tujuan SMS itu untuk seorang teman yg terdaftar dengan nama Faisal Manado.

Saya makin semangat, owww masih ada sisa-sisa bersejarah dan terpapar jelas nama-nama sobat-sobat sesuai daftar dalam Hp, antara lain "Hai Deby, su ada yang punya ko? Boleh kenalan?" "I love you, Ningrum. Kutunggu dirimu dalam tidurku".... "Abang kok lama son kontak?" "Ah hanya kau yang kurindu, Fred". "Hallo Brigitte, how are you. Do you have boyfriend?" (Dalam kontak tertulis Brigitte Swiss. Brigitte adalah sahabat saya. Dia, penulis senior dan dosen di Swiss. Dia salah satu yang menerjemahkan buku Pramoedya A.Toer ke bahasa Jerman).

Tidak mampu saya bayangkan jika pesan-pesan itu sampai ke tangan sobat-sobat saya. Saya hanya berteriak, mengamuk dan semua orang di sekitar saya bingung melihat saya tiba-tiba marah-marah dan mengomel. Saya tidak jelaskan apapun. Entah apa rasanya dulu itu... Hahahaha sekarang saya suka membayangkan perasaan yang menerima "SMS saya" itu.... Tetangga rumah kok minta kenalan? ..." Do you have boyfriend?"

Ah entah siapa nama para orang muda berwajah sendu itu.... Mereka telah melukis pelangi dalam hidupku. Mungkin saat ini mereka adalah penggerak komunitas muda, mungkin juga sudah menjadi aktivis sosial, guru atau petani atau seseorang yg inspiratif.... Atau seseorang yang suka menyisirkan rambut istrinya yg tergerai panjang, atau seseorang yang tak jemu mencabuti uban suaminya sambil sesekali mengetik BBM untuk sahabat gelapnya ahaaaa....

 April 2015

Kita sedang Menunggu Hujan

Kawan,
Ini panas merobek daun-daun di tepi ladang
Duh keringat kita berbuih
Dan kulit kita mulai perih meradang
Ups... Kita masih punya 17 derajat
Ow  bolehlah kita mengoles sun block biar kulit tetap halus mulus
Dan payung asal negeri sebrang menghalau jari matahari

Kita sedang menunggu hujan sambil bincang tentang mereka
Mereka yang merangkak di bibir bukit
Mereka yang menghujam tanah dan menanam kehidupan
Mereka yang keringatnya busuk
Mereka!
Mereka yang kita bilang orang-orang kecil
Mereka yang kadang kita sebut pahlawan

Mereka yg namanya bikin credit card kita berjubel dan cicilan mobil lancar
Mereka yang namanya bikin kita bangga bisa beli peniti di seberang laut dekat rumah Harry Potter
Mereka yang wajahnya kita pasang di spanduk dan papan propaganda

Mereka bukan siapa-siapa
Mereka hanya tersenyum waktu kita bilang
"Kami bantu kau supaya bisa buat jamban"
"Kami bantu kau supaya panen tahun depan kau bisa sekolahkan anak"
"Kami ajari kau supaya April nanti dompetmu sesak gempita"
"Kami kirim ahli untuk menjahit baju robekmu"

 Mereka tersenyum.
Ah mata mereka penuh harap.
Kaki menari-nari dan tangan riang bertepuk
Bukan!
Bukan pada bulir-bulir sajak dari mulut kita.
Atau pun madu yang menetes dari lidah kita
Bukan!
Mereka terbahak
Mereka tersenyum di temaram kamar
Tersedu mendekap anaknya  minum segelas air  untuk menghantar tidur
"Tidurlah...Kelak di Bulan April, Nak...."

Mereka bahagia
Bukan..bukan karena janji kita
Mereka bersorai
Mendengar gemuruh langit berdentam.
Ya, mereka juga sedang menunggu hujan.

Sambil menunggu hujan, kita mulai menghitung angka-angka sakti
Kita gelisah mencari koran hari ini, siapa tahu ada cerita tentang kemurahan hati kita

Kawan,
Mengapa tiba-tiba aku membaca mulutmu  bergumam "Who care with the poor”
Wer mit den Armen kümmern.. Ich verstehe nicht”
“Sopo seng arep ngurusi gembel”
“Hooo sapa mo pi baurus deng orang miskin  aaaaa”
Ah kau bertanya atau berkata?

Bukankah kita sedang menunggu hujan bersama mereka?
Bukankah kita sedang berjubah mereka untuk berkotbah?
Bukankah kita sedang menunggu April waktu bunga liar bermekaran di ladang dan padang?
Lalu kita berpesta bersama mereka
 
Kawan,
Apakah kita pura-pura sedang menunggu hujan?

Margorejo, 5 November 2014