Diskusi bersama 3 perempuan lainnya dari Sumatera, Papua dan Sulawesi https://www.youtube.com/watch?v=WFr92-LJa5I
Minggu, 09 Agustus 2020
Sabtu, 08 Agustus 2020
Program Mama dan Guru Menulis
Sejarah lahirnya -Buku Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965-1998 -
Sabtu, 18 Juli 2020, rekam jejak perempuan pembuat sejarah di Sumba telah tiba di Waingapu. Buku ini memuat 15 kisah perempuan biasa dengan karya yang tidak biasa.
Buku pertama saya antarkan ke Kampung Kaburu, kepada kedua orang tua saya, Bapa
Frans Wora Hebi
dan Mama Elisabeth H. Rendi. Mama Lisa dan dan Bapa Frans adalah orang yang paling berjasa sehingga buku ini bisa terbit. Sekaligus hadiah ulang tahun ke- 65 untuk Mama Lisa.Di masa kecil saya dan adik-adik, malam-malam kami dihiasi dengan Program Mama "Dongeng Sebelum Tidur". Dongeng berisi cerita rakyat, perilaku nakal kami di siang hari dengan mengubah nama subyek, ada juga cerita tentang masa lalu oang tua, nenek moyang. Penghantar tidur wajib yang selalu kami tagih. Meskipun ada cerita yang berulang-ulang, kami tetap menikmatinya.
Program Mama diikuti oleh Program Bapa, "Menulis". Kami disuruh menulis, apa saja. Baca dan menulis. Masa kecil kami di Lewa, waktu itu bahan bacaan sangat terbatas. Kami beruntung karena dalam keterbatasan kondisi ekonomi, akses informasi, Bapa Frans berlangganan beberapa media; Kunang-kunagn, Dian, Kompas, Simponi, Trubus. Itu yag saya ingat saat di Lewa.
Dinding rumah kami di Lewa terbuat dari anyaman gedeg. Dan setiap Paskah atau Natal, kami selalu berusaha memperbaharui wajah dinding kami dengan tempelan koran. Kompaslah yang selalu kami pakai untuk hiasan dinding. Ada rubrik yang paling saya sukai di Kompas sejak mengenalnya, "Kilasan Kawat Sedunia".
Jadi, kami dimintai oleh Bapa Frans, menuliskan kembali apa yang kami baca di "Koran Dinding" rumah kami. Ya, kami tulis ulang saja. Jiplak. Ini sekalian belajar baca tulis saat masuk SD.
Kemudian, Kunang-kunang mulai jadi idola. Majalah Kunang-kunang diterbitkan di Ende, merupakan majalah anak - anak pertama di NTT (kalau saya tidak salah). Selalu datang tiap bulan, Kunang-kunang datang dengan saudara kandungnya Majalah Dian. Majalah Dian, kalau tidak keliru dwi mingguan.
Saat masih SD dan SMP, kami didorong untuk menulis puisi di Kunang-kunang oleh Bapa Frans. Jadi tidak ada koreksi-koreksi. Katanya, sudah bagus, kirim sudah. Ya bagus, buat lagi. Hanya itu yang selalu dikatakan. Kemudian waktu SMA, Majalah Dian (menjadi Tabloid di kemudian hari), tempat kami belajar menulis berita. Lumayan, honor waktu itu, Rp. 2,500 - 7,500.
Proses-proses ini merupakan energi dahsyat bagi hidup saat ini. Danke Mama Lisa dan Bapa Frans untuk Progam Mendongeng dan Program Menulis di masa lalu.
Waingapu, 20 Juli 2020
Kamis, 06 Agustus 2020
Orang-orang Kalah
Malam ini kami gagal membunuh rasa bosan yg terlalu kuat menggagahi kesunyian jiwa
Bergerombol kami menggelayut di kaki bintang, sekedar mengelabui pekat yg merongrong kesendirian
Kami lelah mengusir jendela kosong di barisan malam
Kami lelah bersetubuh dengan malam tak bernyawa
Ah malam ini kami menyerah
Jangan singgahi mimpi kami
Tambolaka, 5 Juli 2013
Damai
Malam telah larut, Damai.
Kutahu kau tak lelap
Kau tersenyum menyusupi jantung setiap kami.
Damai, rentangkan sayapmu...hinggapi juga hati Jakarta, Kupang, Surabaya, Yogya.
Segenap tanah kami.
Damai, kutahu kau tak pernah tidur.
Kau selalu terjaga, untuk sejenak mengecup kening kami yg lelap,marah, lelah dan kecewa.
Damai, peluklah kami erat-erat...
Kami mencintaimu.
Tinggallah di rumah kami.
Malam ini, besok, besok,besok..besok.. dan jangan pergi lagi
Kaki Katedral, 9 Agustus 2013
Perjamuan Putih
Tentang malam tak bertuan yang kau kisahkan di helai pintu
Tak juga tertutup pintu malam itu
Aku ingin mengikat pekat yang merasuk jiwamu
Aku ingin tetap mengecap rasa putih dalam perjamuan dan lukisan kita
Aku ingin memberimu mahkota emas dari buah yang ranum
Aku ingin bibirmu melukis cerita tentang tanah kita
Tentang pagi yang menggeletak di pinggir telaga
Aku ingin memeluk mimpi kita
Aku ingin kau bertualang dalam darahku biar kau temukan pun kau hidup di sana
Aku ingin meletakkan lelah di padang lalu kita menabur benih di ladang bangsa kita
Tentang senja yang tersedu
Aku ingin memetik bunga matahari untukmu dan menetesinya dengan sebutir jantungku
Pun kukecup lambungmu, tak jua terjaga kau! Ah
Tambolaka, 24 November 2013
Hujan dan Rindu
Aku mencintai hujan, seperti mencintaimu
Kau ingat waktu gerimis datang di tepi malam
Lalu kita menulis cerita tentang persahabatan.
Kau bilang "Aku ingin lelap di bahu persahabatan kita"
Lalu kujawab "Lelaplah di hatiku, dan jangan pernah pergi".
Pula kau menatapku di gemuruh hujan, katamu "Hujan ini merekam cakap kita".
Lalu kusahut "Ya...aku mencintai hujan, dia seperti setiap utas benang di tenunan persahabatan kita".
Dan kau meneguk sebutir hujan, pun kau ulurkan segenggam untukku.
Tambolaka 24 Januari 2014
Petang dan Luka
..dan mata pisau yang selalu kau sayatkan di hati mereka
akan memberimu luka ajaib yang sempurna
pun anak panah yang kau sematkan di hening jiwa mereka
menari merasukimu
hingga kau terkapar kecanduan
Tambolaka, 1 Maret 2014
Pengakuan Maria Zaitun
(Nanti 12 April )
Maria Zaitun namaku.
Pelacur yang sengsara.
Kurang cantik dan agak tua.
Hari ini aku telah membantu menyalibkan seorang yang tidak berdosa.
Kau tahu, aku tidak berniat jahat...
Waingapu, 9 April 2014
Meminjam tokoh Maria Zaitun-nya W.S Rendra
Tersesat
.....aku tersesat di jalanku sendiri.
Dulu kau pernah datang dalam kesunyian itu
Menabur bintang di keheningan senja dan kau lihat di punggungku sepasang sayap mengepak.
Kau menjelma sebaris kata yang tak pernah terucap
Kau menjelma sepotong kertas bertinta jejak
...aku tersesat di jalanku sendiri. Aku pernah punya sayap
Aku pernah merindu melompati pucuk-pucuk bambu di belakang sungai di ujung desa kita.
....aku tersesat di jalanku sendiri.
Surabaya, 16 Pebruari 2015
Bu Yayuk, Ibu Kost Hebat
Senang sekali mendapat inspirasi dari Ibu Yayuk, Ibu saya di Surabaya. Beliau berusia 70 tahun, pianis, gitaris, pelukis. Beliau memintaku untuk mendowloadkan lagu Aku Melangkah Lagi. Lagu ini akan dinyayikan bersama komunitas Ibu-ibu berusia70-80 tahun untuk sebuah pertemuan nasional Bulan April. Aha... beliau juga perempuan mandiri. Menyetir sendiri, mencuci mobil sendiri.. ah keren!
Tentang Persahabatan.
Merawat persahabatan seringkali melahirkan rasa perih. Perih yang menggairahkan, perih yang dirindukan.
Jika perih itu tidak lagi dirindukan mungkin cerita itu telah selesai.
Kami selalu merindukan keperihan dan keriuhan
Siska Lali
Noni Wünsch
Elsa Lukas Wunsch Zora. Terima kasih atas kunjungan hangat keluarga Oro ke Kambaniru. Terima kasih Kak
J Juank
jauh jauh dari Riung, akhirnya memeluk Waingapu.Kambaniru 8 Pebruari 2017
Redemptoris untuk Indonesia
Hari ini Keluarga Kongregasi Redemptoris melalui karyanya Rumah Budaya Sumba mendapat penghargaan Anugerah Kebudayaan 2019.
Proficiat buat Keluarga Redemptoris.
Energi Perempuan Muda
Seringkali perasaan lebih tua atau senior membuat kita meremehkan anak muda.
Dengan mereka,
Wenda Radjah
Ira Lodang Dominick
Yustin Dama Dia
Diana Timoria
saya menemukan energi yang selalu terbarukan. Mereka indah seperti kemilau embun yang tersentuh matahari. Mereka tajam menyerupai taring angin.
Dan mereka "nakal", sempurna menguliti kesenioran. Mereka mencipta energi kesetaraan.
Bertumbuh bersama di SOPAN Sumba.
Catatan khusus untuk Diana, anak SOPAN yang ditugaskan belajar di New Zealand, tunggu oleh-oleh bermakna darimu. Sebuah buku karyamu. Seperti Ira dan Wenda yang akan meluncurkan buku puisi mereka di awal 2020.
Dan mari nikmati karya Yustin lewat baju tenun dan tas-tas istimewa.
28 November 2019
Maafkan aku, kawan!
Mengapa kau mendesah
Mengapa rindumu menggelora
Mengapa kau tatap punggungku
Aku mencintai mata indahmu
Aku mencintai kelopak wajahmu
Aku mencintai aromamu
Ah mata matamu seperti bintang yang mengitari malamku
Surabaya 22 Maret 2016
Perempuan Pembuat Sejarah Itu Telah Pergi -Selamat Jalan Mama Ima Nudu-
Maria Imakulata Nudu (78) adalah seorang politikus yang pernah mewarnai dunia perpolitikan NTT. Dia menjadi anggota DPRD selama 20 tahun. Sepuluh tahun sebagai Anggota DPRD Kabupaten Sumba Barat pada tahun 1977-1987 dan sebagai Anggota DPRD Provinsi sejak 1987-1997.
Mama Ima, demikian dia disapa, bukan sembarang politikus. Dia mencipta cara berpolitik dengan rumusnya sendiri. Dia “memasak” politik dengan seni dan menyajikannya dengan santun dan beretika.
Bakat seninya sejak kecil telah menghiasai kehidupan keluarga besar Bapak Yoseph Nudu. Bersama kedua adiknya, Carolin dan Anita Nudu, Ima kecil merayakan kehidupan mereka dengan bermain peran, membaca puisi, menyanyi. Bale-bale adalah panggung seni ketiga putri kecil ini.
Ini adalah puisi pertamanya saat masih di bangku SMP
Celup
Angkat
Lalu menari
Sesudah itu good bye
Mama Ima adalah salah satu dari 15 perempuan yang profilnya saya tulis dalamBuku Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965-1998 (Alteras, 2020). Dari proses mewawancarai para tokoh ini dan narasumber pendukung, sangat pantas Mama Ima dan 14 perempuan lainnya ini mendapat penghargaan sebagai Perempuan Pembuat Sejarah di Sumba.
Saat berjumpa secara rutin dengan Mama Ima sejak 2018 hingga 2019, Mama Ima selalu menuturkan bagaimana membangun harmoni dalam berpolitik. Sebuah tawaran yang terdengar aneh. Bukankah dalam berpolitik memang ada kawan dan lawan?
Mama Ima berpandangan, memang ada kawan dan lawan, namun jauh lebih penting adalah cita-cita besar yang didengungkan oleh semua pihak yang berpolitik : Kesejahteraan Rakyat.
Seni berpolitik ala Mama Ima sangat berkelas dan rasa Mama-mama. Dia membangun komunikasi dengan rakyat kecil dengan menggunakan bahasa mereka, bahasa rakyat. Mama Ima menjauhkan dirinya dari aroma khas politik, keras, sikut menyikut, kasar. “Politik Mama”nya Mama Ima ini penuh dengan syair kemanusiaan, lembut, relasi penghargaan antar manusia, penghargaan terhadap budaya.
Kecintaannya terhadap dunia politik betul-betul nampak pada tanggal 15 Februari 2019. Waktu itu Forum Perempuan Rahimku Sumba Barat Daya menyelenggarakan Penguatan bagi Caleg Perempuan SBD untuk Periode 2019-2024 di Oro, SBD, Mama Ima datang!
Semua tahu bahwa Mama Ima baru saja pulih dari serangan stroke. Mama Ima datang dengan langkah tertatih-tatih dan tongkat di tangan kanannya. Semangatnya telah melenyapkan sisa-sisa serangan stroke. Mama Ima diberi kesempatan bicara. Dia bangkit berdiri dan berorasi. Mama Ima mengirimkan energi bagi para perempuan yang mau berpolitik saat itu.
Waktu itu, saat makan siang, Mama Ima bilang pada saya bahwa dia harus bicara dengan para caleg perempuan agar tetap punya semangat dan hati di panggung politik. Dia berpesan agar para perempuan yang berpolitik mempunyai cara sendiri berkomunikasi dengan rakyat, harus punya cara dekat dengan rakyat dan mendengarkan hati mereka.
Hari ini, 2 Agustu 2020, saya mendapat kabar duka dari Kak Anggi, putri kedua Mama Ima bahwa Mama Ima telah pergi.
Mama Ima telah pergi dan dalam hidupnya telah menoreh sejarah bagi gerakan perempuan di Sumba. Mama Ima telah mencipta sebuah warna dalam berpolitik. Mama Ima mengajarkan kita bagaimana membuat hidup ini berarti dengan cara kita sendiri-sendiri.
Terima kasih Mama Ima. Rekam jejakmu adalah warisan tak ternilai bagi kami, bagi Sumba, bagi Indonesia. Rest in Peace, Mama Ima, Sang Feminis Sumba.
Waingapu, 2 Agustus 2020
Langganan:
Postingan (Atom)