Selasa, 09 Agustus 2016

Surat dari Sumba buat Pak Menteri Muhadjir

Salam hangat dari Sumba, Pak Menteri.
Pagi ini saya berbincang dengan anak saya, Holi, 9 tahun yang duduk di kelas 4 SD. Dia sedang gembira sekali. Tadi malam kambingnya baru terjual dengan harga Rp. 1,500,000. Dia menyampaikan rencananya untuk membeli kambing kecil lagi, membeli ban sepeda, tas baru dan sepatu baru untuk dirinya dan adiknya. Wajahnya berbinar binar.
Pak Menteri, saya melakukan kesalahan. Saat bahagianya, saya beritahu padanya bahwa akan ada kebijakan baru dari Menteri Pendidikan tentang sekolah sehari penuh.
"Artinya apa, Mama? Kita hanya di dalam kelas, tidak keluar main?"
"Maksudnya, anak anak pergi pagi ke sekolah, ada keluar main (jam istirahat), tapi pulang sekolah sore".
"Aiii saya tidak mau sekolah lagi. Saya di rumah saja"
"Kenapa Holi?"
"Saya rencana mau beli kambing lagi. Siapa yang urus saya punya kambing? Siapa yang urus saya punya ayam, itik, sayur?"
"Peraturannya belum jadi, nanti Mama kasih tahu Pak Menteri agar keluar sekolah seperti biasa saja, siang."
Anak saya pun berkemas ke sekolah. Dia bilang, mau tanya teman temannya, apakah mereka setuju atau tidak jika pulang sekolah di sore hari.
Pak Menteri yang budiman,
Anak saya hanya salah satu dari ribuan, jutaan anak desa di Indonesia yang sedang bersekolah. Bapak coba bayangkan, kebiasaan mereka menggembalakan kambing, kerbau, kuda, sapi. Ada juga yang mengurus ternak kecil seperti ayam, bebek, itik, babi. Kegembiraan berkebun... Semuanya harus terhentikan hanya karena niat baik Bapak untuk menciptakan generasi yang hebat dan mandiri.
Bapak Menteri yang budiman,
Bagi kami orang desa, orang Sumba, anak-anak bisa belajar dari alam. Contoh kecil, jika kambing anak saya terlepas, dan Yefta, tetangganya tahu, maka Yefta akan menangkap kambing kemudian mengantarkan pulang ke rumah kami. Sebaliknya pun demikian. Seringkali mereka bergerombol ke tepi sungai mencari rumput untuk kambing mereka. Banyak hal yang mereka bincangkan. Keren Pak. Saya selalu dapat cerita dari mereka, bagaimana saling bertukar anak ayam, benih tanaman atau saling pinjam mainan.
Ah, Pak Menteri, nikmat sekali rasanya. Apakah Pak Menteri pernah punya pengalaman seperti ini?
Siang ini, saya ngobrol tentang full day school dengan anak kedua, Atu namanya, kelas 2 SD. Tentu saja dengan bahasa anak-anak.
"Mama, saya tidak mau sekolah lagi!. Kalau pulang sore, siapa yang urus saya punya kambing? Kalau saya punya kambing mati, pemerintah mau ganti? Asyik Pak Menteri tidak ada (punya) kambing."
"Iya, nanti Mama beritahu Pak Menteri"
"Tolong kasih tahu juga, saya dengan Holi mau pasiar ke rumahny Oma, pergi lihat kebun sayur. Kalau pulang sore, sampai di kebun pasti sudah gelap".
Pak Menteri yang baik,
Jika punya waktu luang, datanglah ke tanah kami, Sumba. Bapak akan dapat kaca mata baru untuk memberi warna pendidikan di Indonesia. Di sini, ada anak sekolah yang mesti jalan kaki berkilo kilo meter melintasi sabana, karang tajam, semak belukar, hutan, sungai. Rasanya lebih adil jika Bapak datang dan rasakan. Pejamkan sejenak mata Bapak. Letakkan tangan kiri di dada, mari rasakan pendidikan orang desa.
Ah masih ada lagi Pak Menteri, di Sumba, sore hari banyak anak harua membantu orang tua pergi timba air. Air bersih, air untuk minum, air untuk masak makanan.
Masih banyak cerita tentang anak desa Pak Menteri. Lebih asyik kalau live naaa. Pas Pak Menteri main-main ke Sumba.
Pak Menteri yang baik,
Pertimbangkan baik-baik rencana baik Bapak tentang full day school. Ah bayangkan kalau tiap hari Pak Menteri dapat surat curhat dari Mama Mama seluruh Indonesia. Kemudian, anak-anak pun ikut menulis surat, guru-guru pun, dan keluarga guru-guru. Apalagi kalau semua menelpon juga ke Hp Bapak. Wah pasti ramai ya Pak. Itu saja rasa hati saya Pak Menteri.
‪#‎PakMenteri‬, Holi punya cita-cita jadi Petani. Bayangkan kalau dia di sekolah sepanjang hari, dia tidak lagi punya waktu merawat cita-citanya lewat berkebun dan beternak.

Waingapu, 9 Agust 2016
Salam hormat
Martha Hebi
Mamanya Holi dan Atu