Sabtu, 08 Agustus 2020

Program Mama dan Guru Menulis


Sejarah lahirnya -Buku Perempuan (Tidak) Biasa di Sumba Era 1965-1998 -


Sabtu, 18 Juli 2020, rekam jejak perempuan pembuat sejarah di Sumba telah tiba di Waingapu. Buku ini memuat 15 kisah perempuan biasa dengan karya yang tidak biasa.
Buku pertama saya antarkan ke Kampung Kaburu, kepada kedua orang tua saya, Bapa
Frans Wora Hebi
dan Mama Elisabeth H. Rendi. Mama Lisa dan dan Bapa Frans adalah orang yang paling berjasa sehingga buku ini bisa terbit. Sekaligus hadiah ulang tahun ke- 65 untuk Mama Lisa.
Di masa kecil saya dan adik-adik, malam-malam kami dihiasi dengan Program Mama "Dongeng Sebelum Tidur". Dongeng berisi cerita rakyat, perilaku nakal kami di siang hari dengan mengubah nama subyek, ada juga cerita tentang masa lalu oang tua, nenek moyang. Penghantar tidur wajib yang selalu kami tagih. Meskipun ada cerita yang berulang-ulang, kami tetap menikmatinya.
Program Mama diikuti oleh Program Bapa, "Menulis". Kami disuruh menulis, apa saja. Baca dan menulis. Masa kecil kami di Lewa, waktu itu bahan bacaan sangat terbatas. Kami beruntung karena dalam keterbatasan kondisi ekonomi, akses informasi, Bapa Frans berlangganan beberapa media; Kunang-kunagn, Dian, Kompas, Simponi, Trubus. Itu yag saya ingat saat di Lewa.
Dinding rumah kami di Lewa terbuat dari anyaman gedeg. Dan setiap Paskah atau Natal, kami selalu berusaha memperbaharui wajah dinding kami dengan tempelan koran. Kompaslah yang selalu kami pakai untuk hiasan dinding. Ada rubrik yang paling saya sukai di Kompas sejak mengenalnya, "Kilasan Kawat Sedunia".
Jadi, kami dimintai oleh Bapa Frans, menuliskan kembali apa yang kami baca di "Koran Dinding" rumah kami. Ya, kami tulis ulang saja. Jiplak. Ini sekalian belajar baca tulis saat masuk SD.
Kemudian, Kunang-kunang mulai jadi idola. Majalah Kunang-kunang diterbitkan di Ende, merupakan majalah anak - anak pertama di NTT (kalau saya tidak salah). Selalu datang tiap bulan, Kunang-kunang datang dengan saudara kandungnya Majalah Dian. Majalah Dian, kalau tidak keliru dwi mingguan.
Saat masih SD dan SMP, kami didorong untuk menulis puisi di Kunang-kunang oleh Bapa Frans. Jadi tidak ada koreksi-koreksi. Katanya, sudah bagus, kirim sudah. Ya bagus, buat lagi. Hanya itu yang selalu dikatakan. Kemudian waktu SMA, Majalah Dian (menjadi Tabloid di kemudian hari), tempat kami belajar menulis berita. Lumayan, honor waktu itu, Rp. 2,500 - 7,500.
Proses-proses ini merupakan energi dahsyat bagi hidup saat ini. Danke Mama Lisa dan Bapa Frans untuk Progam Mendongeng dan Program Menulis di masa lalu.



Waingapu, 20 Juli 2020
Gambar mungkin berisi: 4 orang, termasuk Martha Hebi dan Martin Aleida, orang berdiri, teks yang menyatakan 'Perempuan Tidak Sumba'




Tidak ada komentar: