Kamis, 06 Agustus 2020

Doa Sang Hakim (1)


Tuhan, hari ini saya telah mengetuk palu untuk seorang lelaki Indonesia
Untuk seorang suami
Untuk seorang ayah
Untuk seorang yang sesungguhnya tak bersalah
Tuhan, ampuni saya karena hari ini saya melukai-Mu
Saya tak ingin Tuhan!
Sungguh saya tak sanggup menahan kuasa palu di tangan ini
Kau tahu Tuhan saat saya menatap raut lelaki itu
Hati ini koyak seperti bongkahan es batu beradu palu
Tuhanku Sang Cinta Abadi
Pun di pelupukku menangis anak, istri, tetangga, sahabat
Di butiran butiran peluh lelaki itu saya kembali membaca cerita lama tentang seseorang yang mencuci tangannya di depan peradilan rakyat
Kisah yang kala itu kutertawakan
Kisah yang pernah kukutuk lantaran ketakutan sang hakim
Tuhan Maha Ampun
Di kejapan mata lelaki itu
Saya menatap duka negeri ini
Amarah rakyat yang menyala
Isak istri dan anak-anak saya
Tuhan Kau tahu saya menara mercusuar mereka
Teringat makan malam terakhir sebelum palu untuk lelaki itu, kepada anak-anak kami, istri saya bilang
"Duhai anak-anak ayah dan bunda, jadilah seperti ayahmu. Nurani bersih dan jauh dari godaan duniawi. Di pundak ayah, keadilan negeri ini dipertaruhkan. Banggalah pada ayah, karena dia adalah sejarah negeri ini. Dia akan meletakkan martabat Indonesia di mata dunia. Ingatlah anak-anakku, kita harus bangga. Kita doakan ayah untuk masa depan negeri ini"
Ah binar mata istriku dan pelukan cinta anak-anakku melintas waktu palu itu mengayun ke udara
Tapi Tuhan, palu di tangan ini pun ingin memberi ketenangan negeri ini
Tuhan Sang Maha Penyayang
Saya ingat tatapan lelaki itu saat palu akan berdentam
Seperti doa istri dan anak-anakku
Waktu lelaki itu menelan ludah, matanya penuh harap laksana rindu rakyat yang haus rasa adil
Ah Tuhan, Kau pun tahu, saya hanya membacakan sebuah keputusan, keputusan bersama atas nama keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia
Ya Tuhanku saya memang telah membuat sejarah bagi negeri ini
Di suatu masa nanti saya pun akan jadi legenda, seperti kisah seseorang yang mencuci tangan di depan peradilan rakyat
Tuhan, malam ini saya berteduh di bukit ini
Bahu saya terlalu lemah menopang tangis istri dan anak-anak
Saya tak kuasa membuka mata melihat pilu negeri ini
Saya tak berdaya untuk setiap tetes air mata yang mengalir
Saya tak ingin mendengarkan kisah istri dan anak-anak lelaki itu, ah apakah mereka tangguh?
Tuhanku, malam ini saya tak ingin pulang
Tak ingin pulang pada rahim keadilan
Tuhanku, malam ini kuserahkan pada-Mu palu yang Kau titipkan padaku
Tuhanku, malam ini seperti peluh lelaki itu saat palu di tanganku berayun, sekujur tubuhku basah
Saya mulai menanti dentaman palu-Mu
Kau Sang Hakim Agung


Sumba, 9 Mei 2017

Tidak ada komentar: